A. Biografi Jabir bin Hayyan
Khurasan adalah nama sebuah daerah di utara
Persia (Iran) dan Sijistan
(Pakistan) yang kini termasuk dalam daerah Afghanistan. Di daerah inilah Jabir
bin Hayyan lahir pada sekitar 100 H atau 721 M. Nama lengkapnya adalah Abu Musa
Jabir bin Hayyan Al-Shufiy Al-Azadiy atau Abu Abdullah Jabir bin Hayyan. Terkadang beberapa sejarawan menyebutnya
dengan Al- Thusi dan Al-Kufi. Sumber
lain juga menyebut bahwa Jabir berasal dari kalangan Shabi`in , yang karenanya
diberi laqab Al-Harrani dan termasuk kelompok Mawali. Agaknya dapat dipastikan
bahwa keluarga Jabir berasal dari suku Azd dari Arabia Selatan, yang pada masa
kebangkitan Islam menetap di Kufah. Ayahnya, Hayyan Al-Attar adalah seorang
ahli syi’ah yang juga sebagai penjual obat-obatan. Hayyan berasal dari Syam
yang kemudian pindah ke Thus, sebuah kota kecil yang berjarak 27 km dari Utara
Masyhad yang dikenal sebagai kota transit bagi para pedagang baik dari Baghdad,
Turkistan, ataupun Cina. Sedangkan ilmuan Barat menyebut nama Jabir sebagai
“Geber”. Jabir dikenal sebagai Sufi yang
tekun beri’tikaf di sebuah ruangan khusus di dalam rumahnya. Sebagian sumber
menyebut Jabir sebagai bagian dari kalangan Shabi`in, dan Jabir juga dikatakan
sebagai seorang Syi’ah.[1]
Kenyataan ini merujuk kepada kedekatannya dengan salah seorang imam keenam
Syi’ah yaitu Ja’far Ash-Shadiq.
Selain Imam Ja’far Ash-Shadiq, [2]
Jabir telah pula mendatangi guru lainnya seperti Udha Al-Himar yang kala itu
masih merupakan rekan seangkatan dari Khalid Barmaki, dan Yahya. Jabir sempat
pula menunjukkan beberapa tulisnya kepada para gurunya itu. Karena kecintaannya
kepada ilmu pengetahuan, Jabir banyak bergaul dengan kalangan orang-orang yang
juga mencintai pengetahuan. Jabir tidak hanya mampu mendalami satu bidang ilmu
pengetahuan tertentu, Jabir juga mampu menguasai bidang keilmuan lainnya dan
sangat beragam. Selain ahli dalam bidang ilmu kimia, beliau juga ahli dalam
ilmu yang lain seperti kedokteran, filsafat dan fisika. Hanya saja dari sekian
banyak ilmu yang digelutinya, tampaknya ilmu kimia lebih melekat dan menonjol
pada tokoh intelektual muslim ini. Jabir adalah ilmuan yang sangat produktif
dengan karya yang banyak.[3]
Karya-karya ilmu kimianya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di
Eropa, termasuk bahasa Latin, dan kemudian diserap oleh ilmu kimia modern.
Eropa kemudian mulai mengenali istilah-istilah teknik seperti realiger (sulfit
merah dari arsenik), tutia (seng oksida), alkali, antimoni, alembic, dan
aludel. Demikian juga Salamoniak (sejenis substansi baru kimia) telah
diperkenalkan Jabir yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh orang-orang
Yunani.
B. Epistemologi Jabir bin Hayyan
Diantara epistemologi yang ditemukan dan
dikembangkan oleh Jabir bin Hayyan yang paling terkenal adalah metode
Eksperimen (Al-Manhaj At-Tajribi) dalam Ilmu Pengetahuan khususnya dalam
bidang Kimia. Penemu metode Eksperimental dalam khazanah keilmuan barat adalah
David Hume. Namun,jauh sebelum itu Jabir bin Hayyan telah meletakkan
dasar-dasar metode eksperimentalnya.[4]
Metode Eksperimen ini kemudian berkembang dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain.
Sebelum melaksanakan eksperimen, Jabir menekankan pentingnya penguasaan
teoritis terhadap percobaan yang akan dilakukan. Di samping itu, Jabir bin
Hayyan juga menekankan menekankan pentingnya ketelitian dan kecermatan dalam
melakukan percobaan dan pengamatan.
Selain metode Eksperimental, Jabir juga
memperkenalkan metode perbandingan (Mizan) atau dalam istilah Ushul Fiqh dapat
pula diartikan dengan istilah Qiyas. Metode ini juga masih digunakan dalam
penelitian-penelitian unsur-unsur Kimia. Metode ini kemudian dilanjutkan oleh
peneliti Islam setelahnya yaitu Al-Bairuni.
Jabir juga memperkenalkan Metode penelitian ilmiah
yang hampir sempurna, Jabir menggunakan metode Induksi (Istiqra’) dan
menyimpulkan (Istinbath/Istidlal) kemudian beliau menggabungkan keduanya
setelah menemukan hasil dari penelitiannya. Jabir kemudian membedakan antar
aspek Induktif dan aspek pengambilan kesimpulan dalam ilmu pengetahuan. Pertama
hal-hal yang dapat diungkapkan oleh panca indera (Bayani) [5]
dan kedua hal-hal yang dapat diungkapkan oleh Akal (Burhani) dan Intuisi
(Irfani).
Sebagai ilmuan Muslim yang taat, Jabir bin Hayyan
juga menyentuh aspek aksiologis dalam ilmu pengetahuan. Jabir yang banyak
mendasarkan pengetahuannya berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, beliau berpendapat
bahwa seorang ilmuan harus mempunyai sifat-sifat tertentu jika ingin penelitiannya
berhasil. Diantaranya adalah pesan Jabir kepada murid-muridnya untuk tidak
mendahului Ilmu, dalam artian langkah-langkah yang harus dilalui oleh seorang
ilmuan adalah mempelajari teori, dilanjutkan dengan Eksperimen dan Aplikasi.
Beberapa muridnya menganggap hal ini melelahkan. Namun, jabir menjawab dengan
kata-katanya: Bersusah payahlah dahulu jika ingin berhasil.
Jabir juga memberikan ulasan mengenai
Akhlak dalam beberapa karyanya. Sebagai seorang Sufi, tentu saja kehidupan
Jabir yang dipenuhi dengan menyendiri di salah satu ruangan di rumahnya banyak
meneguhkan murid-muridnya dengan aktifitas-aktifitas sufistik seperti Tashfiyah
dan Riyadhah. Jabir juga telah mencoba memasukkan pendidikan karekter dalam
mendidik murid-muridnya.
Metode-metode ilmiah yang
ditemukan oleh Jabir bin Hayyan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
keilmuan dunia, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. Metode eksprimental
misalnya, telah digunakan selama berabad-abad dalam penelitian eksakta tentunya
dengan penyempurnaan-penyempurnaan dari metode eksperimen yang digunakan oleh
Jabir sebagai pelopornya. Dewasa ini telah berkembang pendekatan pembelajaran
yang terilhami oleh metode eksperimental yang dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan
eksakta. Pendekatan itu adalah pendekatan Scientific yang digunakan dalam
kurikulum 2013 untuk semua mata pelajaran.
Peran Jabir terhadap
perkembangan keilmuan dunia tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata, pelopor
dalam metode-metode ilmiah terkenal ini telah melampaui batas-batas ruang dan
waktu yang tidak bias ditempuh oleh Ilmuan-ilmuan barat. Ilmuan Muslim yang
melandaskan corek keilmuannya terhadap Al-Qur’an dan Haidits inilah yang
kemudian membawa Islam maju melampaui umat-umat sebelumnya.
Jabir bin Hayyan juga
mempunyai prinsip ketauhidan yang kokoh, prindip ketauhidan ini dapat dilihat
dari setiap tulisannya yang tidak lepas dari kalimat-kalimat yang mengingatkan
pembaca atas kebesaran Allah dan kalimat-kalimat Thayyibah. Maka, tak heran
jika dibaca lebih lanjut tulisan-tulisan Jabir yang banyak bernuansa eksakta
Kimia itu lebih seperti khutbah yang diawali dengan puji-pujian kepada Allah
dan shalawat kepada Nabi besar Muhammad saw. Jabir juga banyak mengintegrasikan
nilai-nilai tekstual keagamaan dalam produk keilmuannya, sehingga tidak jarang
jabir menguti ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits yang berkaitan dengan
penelitiannya.[6] Berdasarkan hal ini, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Jabir bin Hayyan adalah ilmuan yang melakukan
penelitian ilmiahnya dan sedikit banyak terilhami oleh beberapa ayat Al-Qur’an
maupun Al-Hadits. Namun, sebagaimana ilmuan Muslim lainnya, ketika mendapatkan
hasil penelitian yang tidak sesuai dengan teks keagamaan, maka sikap yang
diambil adalah mauquf dan tetap meyakini kebenaran teks. Hal ini sangat berbeda
dengan ilmuan-ilmuan barat yang menganggap kebenaran ilmu pengetahuan adalah
final meskipun bertentangan dengan teks keagamaan.
Dalam konsep metode
ilmiahnya, Jabir memberikan
nasehat spiritual yang cukup panjang. Di samping menyarankan untuk tetap berikhtiar, Jabir
menawarkan solusi ruhani, agar tidak mudah berputus asa, dan tidak
menunda-nunda untuk tetap mempelajari konsep mizan. Berikutnya, secara rinci Jabir menasehati
agar mensucikan diri dengan air, memakai pakaian yang bersih, kemudian shalat istikharah,
berdoa dan menyampaikan hajatnya kepada Allah SWT, kemudian bershadaqah. Dari gambaran tersebut, tampaknya Jabir menyadari
betul bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya berasal dari Allah SWT, al-‘Alim, yang karena itu, kepada Nya jualah, permohonan
untuk untuk mendapatkan ilmu dipanjatkan.
Konsep spiritual seorang
ilmuan yang diajarkan Jabir memberikan banyak pelajaran dalam pengembangan
keilmuan modern dalam bidang apapun. Jabir, seorang ilmuan besar, dari
tangannya lahir karya-karya besar yang mampu membuat dunia berdecak kagum,
adalah seorang yang tawadhu’ dan tawakkal menyerahkan semuanya kepada sang
pencipta. Hal ini sangat penting untuk diakomodasi dalam kehidupan modern.
Betapa tidak, ilmuan modern yang hanya mempunyai satu-dua buah karya saja
banyak sekali yang lalai terhadap Rabbnya.
Jabir juga memberikan
konsep Islamisasi dan spiritualisasi sains dari pandangan-pandangannya dalam
banyak tulisannya. Spiritualisasi sains nampaknya juga menjadi kecendrungan
perkembangan sains modern, baik di Barat maupun di dunia Islam. Dalam upaya ini, dunia Islam mengenal
tokoh-tokoh yang menggaungkan pentingnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan, semisal
Ismail Raji Al-Faruqi, Nequib al-Attas, Ziauddin Sardar, Mehdi Ghoulsyani, dan
lain lainnya.
Rahimahu Allah Jabir bin
Hayyan.
[1] Secara Implisit, Jabir tidak mejelaskan dalam
tulisan-tulisannya bahwa ia adalah penganut Madzhab Syi’ah. Namun, analisis
Corbin dalam salah satu tulisan Jabir yang berjudul Kitab Al-Majid menjelaskan
mengenai Falsafah Huruf Mim, Ain, dan Sin, yang menjelaskan tentang Maqamat Syiah
Itsna Asyariyah, Ismailiyah, dan Fathimiyah. Lihat Corbin, The History Of
Islamic Thinking, Terj. Arab: Nashir Marwah (Beirut: Uwaidat, 1998), hlm.
207.
[2] Ja’far Shodiq bukan hanya dikenal sebagai pendiri madzhab hukum Syi’ah dua belas Imam atau lebih
dikenal dengan madzhab Ja’fari, tetapi juga menjadi tokoh penting dalam
pengetahuan esoteris. Lihat
As-Shafdy, Al Wadi bi Al-Wafayat (Beirut: Dar Ihya’ Turats Araby, 2000),
hlm. 27.
[3] Karya tulisa Jabir bin Hayyan disebutkan sekitar 232
Buku dan ada yang menyebutkan 500 lebih karya tulis. Az-Zarkali, Al-A’lam (Dar
Al-Ulum li Al-Malayin, 2002), Vol. 2, hlm. 103.
[4] Jabir menjelaskan: “Barang siapa yang melakukan
eskperimen, dia akan menjadi ilmuwan sejati. Adapun orang yang tidak melakukan
eksperimen, dia tidak akan menjadi ilmuwan.
Proses kimia harus dilakukan dengan eksperimen, karena dengan eksperimen
orang akan menjadi mahir, dan tanpa eksperimen ilmu seseorang tak berarti
apa-apa.” Lihat: Jabir Bin Hayyan, Kitab
As-Sab’in dalam Ahmad Farid Al-Mazidi, Rasa’il Jabir bin Hayyan (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 431.
[5] Jabir juga memberikan klasifikasi hal-hal yang dapat
diungkapkan oleh Akal yaitu yang tidak membutuhkan dalil dan yang membutuhkan
dalil (hujjah). Lihat: Jabir Bin Hayyan,
Kitab Al-Baht dalam Ahmad Farid Al-Mazidi, Rasa’il Jabir bin Hayyan (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 450.
[6] Ketika menjelaskan tentang lalat, jabir mengutip QS.
Al-Baqarah (2): 6 dan hadits dua sayap lalat yang mengandung racun dan obat. Jabir
bin Hayyan, Kitab Al-Ahjar dalam
Ahmad Farid Al-Mazidi, Rasa’il Jabir bin Hayyan (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, 2006), hlm.38.
0 komentar: