Friday, December 2, 2011

Puasa Daud

By MOHD ZACK  |  11:19 PM No comments

1.      Matan dan terjemah Hadits
حديث عبد الله بن عَمرو، قال: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي أَقُولُ: وَاللَّهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ، وَلَأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ، فَقُلْتُ لَهُ: قَدْ قُلْتُهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي قَالَ: «فَإِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ» ، قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: «فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ» ، قُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: «فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ» ، فَقُلْتُ: إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ «لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ»[1]
Artinya:
"Hadits Abdullah bin Amr, Abdullah Bin Amr berkata: Rasulullah saw. Mengabarkan kepadaku ketika aku berkata: Demi Allah, aku akan berpuasa pada siang hari dan akan beribadah pada malam hari selama aku hidup, kemudian aku berkata: aku tela mengatakan hal ini kepada ibuku, engkau dan ibuku. Rasulullah bersabda: sesungguhnya engkau tidak akan sanggup melakukannya, maka berpuasalah dan berbukalah, dirikanlah malam dan tidurlah, berpuasalah tiga hari dalam sebulan, karena sesungguhnya satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan, dan puasa tiga hari dalam sebulan adalah seperti puasa terus menerus. Aku berkata: saya mampu melakukan yang lebih dari itu, Rasulullah bersabda: maka berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari, Aku berkata: saya mampu melakukan yang lebih dari itu, Rasulullah bersabda: maka berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, ini adalah puasa nabi Daud as. Dan sebaik-baik puasa. Aku berkata: saya mampu melakukan yang lebih dari itu, Rasulullah saw. Bersabda: tidak ada yan lebih baik dari itu." (HR. Bukhori)


2.      Biografi Perawi hadits
Imam Bukhari mempunyai nama lengkap Al-Imam Abu Abdullah Muhammad Bin Isma’il Bin Ibrahim Bin Al-Mughiroh Bin Bardizbah. Kakek beliau yaitu Bardizbah mulanya beragama majusi, kemudian masuk Islam dengan perantara al-Ju’fi.[2] Oleh karena itu beliau juga memiliki nisbah al-Ju’fi, beliau juga memiliki nisbah pada daerah kelahirannya yaitu Bukhoro sehingga beliau dikenal dengan sebutan Imam Bukhari.
Imam Bukhari lahir pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H, di Bukhoro.[3] Ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih kanak-kanak, sehingga beliau dirawat oleh ibunya seorang diri. Allah memberikan keistimewaan kepada beliau berupa otak yang sangat cemerlang dan hati yang terjaga sehingga beliau dapat dengan mudah untuk dapat mengambil ilmu dari para guru-gurunya. Pada usianya yang masih muda (16 tahun) beliau telah mendatangi hampir seluruh ulama yan ada di tempatnya. Beliau telah belajar dari Ibnu Mubarak, Waki’, dan memahami pemikiran dari ahlu ra’yi tersebut.
Beliau merupakan teladan yang baik dalam pengembaraan mencari ilmu dan hadits. Diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: “aku menunjungi Syam, Mesir, Hijaz, ke Jazirah dua kali, kemudian ke Bashrah empat kali, lalu aku tinggal di Hijaz enam tahun. Aku sendiri tidak dapat menghitung berapa kali aku masuk Kufah dan Baghdad bersama para ahli hadits”.
Imam Bukhari merupakan seorang imam yang memiliki ketajaman dan kecermelangan otak yang sangat luar biasa. Sebagai bukti kecermelangan otaknya ketika beliau pergi ke Baghdad, seluruh ulama’ Baghdad berkumpul  untuk menguji kemampuan beliau. Mereka mengumpulkan seratus hadits, yang antara sanad dan matannya ditukar antara satu dengan yang lainnya, kemudian seratus hadits tadi dibagi pada sepuluh penguji. Sehingga setiap ulama memegang sepuluh hadits yang telah diputar balik antara sanad dan matannya. Ketika imam Bukhari datang, masing-masing dari kesepuluh orang ini bertanya kepada beliau mengenai hadits-hadits tadi, dan setiap kali disebut sebuah hadits imam Bukhari berkata: “aku tidak mengetahui hadits tersebut” demikianlah hingga mencapai seratus hadits. Banyak orang yang tidak mengerti menyangka imam Bukhari tidak tahu apa-apa, namun setelah semuanya selesai, beliau berkata pada orang pertama yang menanyai beliau sepuluh hadits tadi dan mengatakannya, bahwa hadits yang anda katakana dari fulan bin fulan adalah salah. Beliau juga menyebutkan hadits yang benar dari Rasulullah saw. Imam Bukhari menjawabnya satu per satu hingga tuntas sampai seratus tadi.
Mengenai ujian ini banyak diantara para hadirin yang berkomentar, bahwa yang membuat takjub itu bukannya beliau hafal seratus hadits dengan matan yang benar, namun yang menakjubkan adalah beliau juga hafal seratus hadits yang diputar balikkan satu persatu. Mengenai kekuatan hafalan beliau, Imam Ibnu Hajar mengatakan: “sekiranya engkau membuka lembaran pujian para ulama’ yang hidup setelah masa beliau, sungguh akan habis kertas dan sirnalah nafas, karena beliau seperti lautan yang tak bertepi.”[4]
Imam Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H di daerah Samarkindi, dan dimakamkan pada Idul Fitri ba’da Dzuhur. Beliau memiliki banyak karya peninggalan yang sangat berarti dalam khazanah keilmuan Islam, terutama dalam bidang sunnah. Diantara karya-karya beliau adalah: Al-Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, Al-Tarikh al-Shagir, Al-Tarikh al-Ausath, Al-Tarikh al-Kabir, Al-Tafsir al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitabul Ilal, Rof’ul Yadaini Fis Shalat, Birrul Walidain, Kitabul Asyribah, Al-Qiraah Khalfu Imam, Kitabud Dhu’afa’, dan lain sebagainya.[5]

3.      Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori melalui jalur sanad:
a.       Abu al-Yaman: yaitu Al-Hikam bin Nafi' al-Bahrany dikenal dengan Abu al-Yaman al-Himsha, dari generasi sepuluh 'ulama' besar yang mengambil hadits dari tabi' at-tabi'in. Beliau wafat pada tahun 222 H. Yang meriwayatkan hadits dari jalur sanad beliau yaitu imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah. Kualitasnya menurut Ibnu Hajar: Tsiqah Tsabit.[6]
b.      Syu'aib: Yaitu Syu'aib bin Abi Hamzah. Dari generasi ketujuh tabi' at-tabi'in. Beliau wafat pada tahun 162H. Yang meriwayatkan hadits dari jalur sanad beliau yaitu imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa'I, dan Ibnu Majah. Kualitasnya menurut Ibnu Hajar: Tsiqah. Sedangkan menurut Adz-Dzahaby: Al-Hafidz.[7]
c.       Az-Zuhry: Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah Az-Zuhry dari generasi keempat Tabi'in. Beliau wafat sekitar tahun 125 H. Yang meriwayatkan hadits dari jalur sanad beliau yaitu imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah. Kualitasnya menurut Ibnu Hajar: al-Hafidz al-Faqih.
d.      Sa'id ibn Musayyab: said ibn Musayyab bin Hazn bin Abi Wahhab bin Amr. Generasi kedua dari tabi'in. Beliau wafat setelah tahun 90 H. Yang meriwayatkan hadits dari jalur sanad beliau yaitu imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah. Kualitasnya menurut Ibnu Hajar: salah satu ahli fiqh yang paling tsabit. Kualitas menurut adz-Dzahaby: Tsiqah.
e.       Abdullah Bin Amr: Abdullah bin Amr bin Ash. Generasi pertama sahabat. Yang meriwayatkan hadits dari jalur sanad beliau yaitu imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'I dan Ibnu Majah.[8]
Ditinjau dari sanadnya, hadits ini telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yaitu sanad yang bersambung secara 'adil dan dhabit dan tidak adanya cacat dan syadz (langka).
Disisi lain hadits ini juga terdapat dalam kitab-kitab hadits, antara lain:
رقم الحديث
باب
كتاب
اسم الكتاب
رقم
1792
صوم الدهر
الصوم
صحيح البخاري[9]
1
2418
قول الله تعالى: وآتينا داود زبورا
أحاديث الأنبياء
صحيح البخاري[10]
2
1159
النهي عن الصوم الدهر
الصيام
صحيص مسلم[11]
3
3660
صوم التطوع
الصوم
صحيح ابن حبان[12]
4
2427
في صوم الدهر تطوعا

سنن ابو داود[13]
5
2392
صوم يوم وأفطر يوم
الصيام
سنن النسائي[14]
6
6760
مسند عبد الله بن عمرو بن عاص

مسند إمام أحمد[15]
7

4.      Syarh hadits
Hadits ini menjelaskan larangan bersumpah atas nama Allah dalam perkara-perkara yang sulit atau perkara-perkara yang hamper tidak mungkin dilakukan. Seperti dalam hadits diatas, rasulullah saw. Melarang Abdullah bin Amr atas sumpahnya untuk selalu melaksanakan qiyamul lail dan puasa pada siang hari. Begitu juga bagi orang yang bersumpah untuk tidak menikah, tidak makan dan tidak minum, hal ini tidak biasa bagi kalangan ahli ilmu. Allah Swt. Berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ) [التحريم: 1]
"Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu" (At-Tahrim: 1)
Barang siapa yang bersumpah untuk tidak menikah, maka hendaknya menikah. begitu juga sumpah-sumpah yang seakan-akan mengharamkan hal-hal yang mubah untuk dilakukan.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa berusaha dan bersungguh-sungguh mendalami ibadah  makruh hukumnya apabila disertai dengan sedikitnya kesabaran untuk menunaikannya. Tidak terkecuali puasa yang dapat melemahkan badan. Bahkan Allah telah memberikan keringanan atas hal ini ketika dalam perjalanan, untuk meringankan beban bagi orang yang dibebani kesulitan yaitu perjalanan jauh. Lalu bagaimana jadinya apabila masyaqqoh safar ini digabungkan dengan masyaqqoh qital (perang) untuk menegakkan kalimat Allah. Maka rukhshah (keringanan) itu ditujukan agar tidak cepat lelah ketika dalam peperangan.
Beberapa ulama' salaf tidak menyukai puasa dahr (terus menerus), diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab, Ibnu Mas'ud, Abi Dzar, Salman, dan sebagainya bahwa tidak ada yang lebih utama daripada puasa Daud, dan sabda rasulullah bahwa: tidak ada puasa bagi oran yang berpuasa selamanya. Hal ini ditujukan agar tidak lantas melupakan ibadah-ibadah utama yang lain seperti Shalat-shalat sunnah, membaca al-Qur'an, Jihad, menunaikan hak-hak istri, dan lain sebagainya.
Diriwayatkan bahwa keutamaan puasa daud daripada puasa dahr adalah karena puasa daud tidak melemahkan badan untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang lebih utama daripada puasa, seperti jihad si Jalan Allah. Secara makna, rasulullah meriwayatkan bagi orang yang tidak merasa lemah dan tidak mengurangi nilai ibadah-ibadah utama selain puasa dan badannya masih sehat meskipun berpuasa, maka hokum puasanya makruh dan tidak berdosa. Ibnu mas'ud pernah berkomentar tentang puasa dahr (terus menerus): Sesungguhnya jika aku berpuasa agak lemah bagiku untuk sholat dan sholat lebih aku sukai daripada puasa.[16] Imam Malik pernah berkata: tidak apa-apa apabila seseorang melakukan puasa dahr apabila tidak berpuasa pada dua hari raya dan hari tasyrik.[17]
Selanjutnya tentang keutamaan puasa daud, dalam hal ini rasulullah saw. Bersabda:
وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ "
Secara dzahir, rasulullah mengutamakan puasa daud daripada puasa dahr (terus-menerus). Sebagian ulama' ada yang berbeda pendapat karena mereka beranggapan bahwa apabila amal lebih banyak maka pahala akan lebih banyak. Mereka berhujjah pada ta'wil alasan ini. Dan dikatakan bahwa keutamaan puasa daud adalah bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa dan qiyam la-Lail sekaligus. Imam Ibnu Daqa Al-Ied berpendapat tentang keutamaan puasa daud melihat pada dzahir hadits diatas.[18]
Rasulullah saw telah menunjukkan kepada umatnya hal-hal yang baik bagi mereka dan menjauhkan mereka dari hal-hal yang membahayakan bagi ummat. Rasulullah juga melarang ummatnya untuk mendalami suatu ibadah dengan berlebihan Karena ditakutkan akan cepat bosan dan kemudian meninggalkan ibadah itu selamanya. Allah swt tidak menyukai orang yang senantiasa beribadah untuk beberapa waktu dan kemudian meningalkannya sama sekali untuk beberapa waktu.[19] Wallahu a'lam bi As-shawab.



[1] M. Fu'ad ibn Abdul Baaqi, Al-Lu'lu' wa al-Marjan, Daar Ihya Kutub 'Arabiyyah (1986) Juz: 2 Hlm: 21
[2] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala, Daarul Hadits (Kairo: 2006) Juz 10, hal 79.
[3] Abd Al-Muhsin Bin Hammad, Al-Imam Al-Bukhari Wa Kitabuhu Al-Jami’ Al-Shahih, Al-Jami’ah Al-Islamiyah (Madinah: 1390 H) hlm 31.
[4] Ibid… hal. 34.
[5] Ibid… hal. 35.
[6] Adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala, Ar-Risalah (1985) Juz: 10 Hlm: 319
[7] Ibid… Juz: 7 Hlm: 187.
[8] Ruwat At-Tahdzibin.
[9] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Daar thauq an-Najah, 1422 H. Juz: 3, Hlm: 40
[10] Ibid… Juz: 4, Hlm: 160
[11] Imam Muslim, Shahih Muslim, Ihya'ut Turats 'Araby (Beirut). Juz: 2 Hlm: 812
[12] Ibnu Hibban, Al-Ikhsan fi Taqrib Shahih ibn Hibban, Ar-Risalah (Beirut: 1988) Juz: 8, Hlm: 418.
[13] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah al-Ashriyyah (Beirut: tth) Juz: 2 Hlm: 322.
[14] An-Nasa'I, Al-Mujtaba Min as-Sunan, Al-Mathbu'ah al-Islamiyyah (Kairo: 1986) Juz: 4 Hlm: 211.
[15] Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Ar-Risalah (2001) Juz:11 Hlm: 371.
[16] At Thahawi, Syarh Musykil al-Anwar, (Ar-Risalah: 1949) Juz: 7 Hlm: 419.
[17] Ibnu Bahtol, Syarh Shahih Bukhari, Ar-Rusyd, (Riyadh: 2003) Juz: 4, Hlm: 123.
[18] Ibnu Daqi al-'Ied, Ihkam al-Ihkam Syarh Umdah al-Ahkam, As-Sunnah. Juz: 2 Hlm: 32.
[19] Ibnu Hajar, Fathul Baari, Daar Abi Hayyan (Kairo: 1996) Juz: 5 Halm: 760.

Author: MOHD ZACK

Assalamu'alaikum, Saya Penulis di blog ini, silakan Share jika tulisan ini bermanfaat. Terima Kasih atas kunjungan anda. Kritik dan saran silakan di poting di kolom komentar.

0 komentar:

E-mail Newsletter

Kirim alamat E-mail anda untuk mengikuti pembaruan dari kami.

Recent Articles

© 2015 Waajibaty | Distributed By Zacky | Created By Zacky
TOP