Wednesday, April 29, 2015

Akuntabilitas Pendidikan

By Unknown  |  5:44 AM No comments


  1. Akuntabilitas Pendidikan
1.      Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai orang lain karena kualitas performannya dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Secara umum, makna yang terkandung dalam akuntabilitas adalah: (1) cocok atau sesuai (Fitting in) dengan peranan yang diharapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada orang lain tentang keputusan dan tindakan yang dambilnya, (3) performance yang cocok dan meminta pertimbangan/ menjelaskan kepada orang lain.
Definisi diatas menunjukkan beberapa aspek bahwa: di dalam akuntabilitas terkandung rasa puas dari pihak lain, model kontrol, model dialog, dan kriteria ukuran. Rasa puas pihak lain terjadi apabila menurut kenyataan mampu memenuhi kontrak sebagai hasil dialog sebelumnya, yaitu tepat dengan kriteria yang sudah ditentukan yang tercermin oleh kontrol yang dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian, mak akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja dan memberikan hasil karya yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan.
Manifestasi akuntabilitas dalam suatu lembaga dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Mengontrak performan, performan ditentukan kriterianya dan disepakati bersama. Artinya petugas pelaksana tidak boleh menyimpang dari kriteria tersebut.
b.      Memiliki kunci pembentuk arah dalam bentuk biaya dan usaha performan yang dikontrak. Artinya dengan biaya tertentu diharapkan tercapai tujuan secara efektif sehingga pengontrak merasa puas.
c.       Unsur pemeriksaan yang dilakukan oleh orang-orang bebas dan tidak terlibat dalam kegiatan internal, seperti orang tua siswa, masyarakat, atau pemerintah.
d.      Memiliki jaminan, dalam bidang pendidkan mutu dapat terjamin dengan menggunakan kriteria atau ukuran tertentu.
e.       Pemberian insentif, diberikan sebagai penghargaan dan dapat diukur menurut kriteria tertentu, dengan maksud untuk meningkatkan motivasi dan sistem kompetisi dalam meningkatkan performan.[1]
2.      Langkah-langkah Akuntabilitas
Langkah-langkah akuntabilitas secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Tentukan tujuan program yang dikerjakan, dalam dalam perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
b.      Program dioperasionalkan sehingga menimbulkan tujuan-tujuan yang spesifik. Operasionalisasi program ini melahirkan tugas-tugas khusus dengan tujuannya masing-masing yang mudah diidentifikasi tentang apa saja yang harus dikerjakan.
c.       Kondisi tempat bekerja ditentukan.
d.      Otoritas atau kewenangan setiap petugas pendidikan ditentukan.
e.       Pelaksana yang akan menjalankan program ditentukan (orang yang dikontrak).
f.        Kriteria pelaksana performan yang dikontrak dibuat sejelas mungkin.
g.       Tentukan pengukur yang bersifat bebas, dalam hal ini pengukur adalah orang yang mengontrak itu sendiri.
h.      Pengukuran dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran umum yang berlaku, yaitu secara insidental, berkala dan terakhir.
i.         Hasil pengukuran dapat dilaporkan kepada orang yang berkaitan.[2]
3.      Manfaat Akuntabilitas
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting perencanaan, antara lain:
a.       Tujuan/performan yang ingin dicapai
b.      Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
c.       Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
d.      Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
e.       Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
f.        Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.
  1. Penyelenggaraan Pendidikan
1.      Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Sesuai UU 20/2003 tentang Sisidiknas, ada 6 (enam) prinsip. Ketentuan ini,  diatur pada Bab II pasal 4 yang diuraikan dalam 6 ayat. Berikut isi UU 20/2003, pasal 4:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[3]
Kutipan dalam amanat undang-undang Sisdiknas tahun 2003 diatas sangatlah ideal bagi bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis Identitas. Jika undang-undang ini direalisasikan sepenuhnya pada masyarakat indonesia, maka tidak akan ada masalah-masalah yang terkait dengan dunia pendidikan seperti buta huruf, pemerataan pendidikan dan lain sebagainya. Namun, pada kenyataannya realitas menunjukkan perbedaan yang signifikan. Carut-marut pendidikan Indonesia masih saja dirasakan meskipun usia UU Sisdiknas sudah berumur hampir satu dekade.
2.      Realita Penyelenggaraan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa ataupun Negara dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Di dalam pembukuan UUD 1945 dijelaskan bahwa tujuan tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara UUD 1945 pasal 31 ayat 4 menjelaskan bahwa naggaran penyelenggaraan pendidikan nasional minimal 20% diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 
Beberapa kasus strategis pendidikan nasional akhir-akhir ini memunculkan anggapan bahwa Undang-undang Sisdiknas yang disusun pada tahun 2003 masih belum berjalan sebagaimana mestinya, hal ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan untuk dijawab, apakah kesalahan pada Legislatif yang terlalu idealis dalam menetapkan undang-undang, ataukah pada Eksekutif yang tidak melaksanakan amanat undang-undang sepenuhnya. Kasus-kasus mulai dari penggusuran sekolah, pemerataan pendidikan, hingga Ujian Nasional tersebut secara tidak langsung menjadi indikasi bagi keberlangsungan pendidikan nasional yang semakin terseok-seok. Proses penyelenggaraan pendidikan nasional masih sering terbentur dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan, sistem sosial, dan kesadaran kita sendiri.
Jika dilakukan analisis mengenai kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa pokok persoalan dalam pendidikan kita, antara lain: pertama, masalah kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara. Namun, dalam kenyataan tidak memberikan relevansi yang nyata. Bahkan riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru, karyawan dan sebaginya. 
Kedua, masalah visi pendidikan nasional yang belum bisa berpihak pada rakyat jelata. Dari kasus-kasus di atas , sebagai pelaku pemenangnya adalah mereka yang hanya memiliki uang saja. Kebijakan pemerintah dan visi pendidikan nasional belum bisa menyentuh kepentingan rakyat jelata. Oleh karena itulah setiap kasus yang terjadi selalu meletakkan posisi rakyat jelata sebagai yang kalah. 
Ketiga, masalah kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan “kesadaran kritis”. Setiap kasus yang terjadi selalu memposisikan masyarakat bawah sebagai yang tertindas, namun mereka tidak kuasa melawan penindasan itu. Istilah Paulo Freire, mereka telah tenggelam dalam “budaya bisu”. Kondisi mereka selalu tertekan, namun tidak kuasa untuk meluapkan seluruh aspirasi karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan.
Ketiga, akar persoalan di atas menjadi masalah serius dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan nasional tidak akan bisa berjalan secara ideal selagi ketiga pokok persoalan itu belum terpikirkan.
Ketiga persoalan pokok diatas secara tidak langsung menimbulkan sikap apatis dalam masyarakat Indonesia, fenomena apatisme ini cukup banyak terjadi. Ada yang kecewa karena faktor biaya yang kian mahal dan mencekik. Banyak anak pintar penuh potensi yang harus minggir dari kompetisi karena tidak ada kursi. Keterbatasan ekonomi nampaknya menjadi hal yang tidak bisa dihindari. Ada juga yang apatis disebabkan oleh ketidak sesuaian dengan apa yang diharapkan.
Sikap kecewa dan apatis terhadap dunia sekolah yang dalam hal ini mencerminkan pendidikan bukanlah fenomena baru bahkan semakin hari semakin banyak. Fenomeni ini juga kurang mendapatkan perhatian yang memadahi terutama dari para pemegang kebijakan pendidikan. Para pelaksana pendidikan rupanya lebih sibuk dengan agenda kerja yang menguntungkan secara materi. Para pejabat hanya sibuk berbicara tentang Ujian Nasional tanpa pernah memberikan pemikiran yang komprehensif tentang bagaimana kualitas siswa. Ujian Nasional telah menjadi kontroversi beberapa tahun ini, meskipun demikian tidak ada usaha yang signifikan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas anak didik.[4]
Dalam mengatasi masalah ini, sebenarnya Negara tidak hanya berpangku tangan, beberapa usaha telah dilakukan. Usaha tersebut antara lain: Pertama, pemerataan memperoleh pendidikan yang dalam hal ini dilakukan melalui desentralisasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemerintah daerah beserta masyarakatnya dalam pemerataan pendidikan. Kedua, upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang merupakan dasar pemikiran makro yang melandaasi lahirnya UU No. 22 Th. 1999, tentang pemerintah daerah untuk menghadapi persaingan global. Ketiga, perbaikan manajemen sekolah dengan diterapkannya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Sebagai alternatif sekolah dalam program desentralisasi pendidikan yang memberikan otonomi luas di tingkat sekolah dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam rangka kebijakan nasional.[5]
Upaya-upaya maksimal dari pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dengan melaksanakan realitas berdasarkan aturan telah dilakukan. Namun, kondisi di atas tidak akan berubah. Tatakala negara tak sanggup menyediakan anggaran dana besar untuk pendidikan, sudah semestinya masyarakat menerobos dengan inovasi model pendidikan, demi kelangsungan dan masa depan bangsa. Adalah baik jika para generasi diberikan materi pendidikan berupa life skill atau kecakapan yang diperlukan untuk mengatasi masalah ketika memasuki persaingan terbuka. Sebab pendidikan yang diselenggarakan Negara kita, lulusannya belum memiliki kesiapan kerja yang memadai. Mereka butuh dimatangkan dalam hal kecakapan pribadi (personal skill), penikiran, sosial, serta akademis.[6]
  1. Transparansi Pengelolaan Pendidikan
Transparansi sekolah adalah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Dalam konteks pendidikan, istilah transparansi sangatlah jelas yaitu kepolosan, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ini berarti bahwa sekolah harus memberikan informasi yang benar kepada publik. Transparansi menjamin bahwa data sekolah yang dilaporkan mencerminkan realitas. Jika terdapat perubahan pada status data dalam laporan suatu sekolah, transparansi penuh menyaratkan bahwa perubahan itu harus diungkapkan secara sebenarnya dan dengan segera kepada semua pihak yang terkait(stakeholders).[7]
Pengembangan transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional. Transparansi bertujuan untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.
Transparansi sekolah perlu ditingkatkan agar publik memahami situasi sekolah dan dengan demikian mempermudah publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka meningkatkan transparansi sekolah kepada publik antara lain melalui pendayagunaan berbagai jalur komunikasi, baik secara langsung melalui temu wicara, maupun secara tidak langsung melalui jalur media tertulis (brosur, leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar) maupun media elektronik (radio dan televisi lokal).
Upaya lain yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan transparansi adalah menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi yang dapat diakses oleh publik ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, durasi waktu untuk mendapatkan informasi, dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik.
Sekolah perlu mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi sekolah, fasilitas database, sarana informasi dan komunikasi, dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di sekolah maupun prosedur pengaduan.


DAFTAR PUSTAKA
Lamijan Hadi Susarno, Dkk. 2007. Refleksi Pendidikan Masa Kini, Surabaya: FIP Unesa.
Nanang Fattah. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung: CV. Pustaka Bani.
Ngainun Naim. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Nasional Membangun Pradigma Yang Mencerahkan. Yogyakarta: Teras.
Kementrian Sekretariat Nagara, Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional 2003, dalam http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=323&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2003, diakses pada 9 Mei 2013.
Eka Lismaya Sari, Pendidikan Indonesia Antara Aturan dan Realitas, dalam http://universal-79.blogspot.com/2008/08/newspendidikan-indonesia-antara-aturan.html diakses pada 9 Mei 2013.
Transparansi dalam Prinsip Tata Kelola yang Baik Pada Pelaksanaan MBS, dalam http://serbarabari.blogspot.com/2011/09/transparansi-dalam-prinsip-prinsip-tata.html diakses pada 09 Mei 2013.




[1] Nanang Fattah, Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah (Bandung: CV. Pustaka Bani, 2004), 93.
[2] Ibid.. 96
[3]Kementrian Sekretariat Nagara, Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional 2003, dalam http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=323&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2003, diakses pada 9 Mei 2013.
[4] Ngainun Naim, Rekonstruksi Pendidikan Nasional Membangun Pradigma Yang Mencerahkan (Yogyakarta: Teras, 2010), 105.
[5] Lamijan Hadi Susarno, Dkk. Refleksi Pendidikan Masa Kini (Surabaya: FIP Unesa, 2007), 183.
[6] Eka Lismaya Sari, Pendidikan Indonesia Antara Aturan dan Realitas, dalam http://universal-79.blogspot.com/2008/08/newspendidikan-indonesia-antara-aturan.html diakses pada 9 Mei 2013.
[7] Transparansi dalam Prinsip Tata Kelola yang Baik Pada Pelaksanaan MBS, dalam http://serbarabari.blogspot.com/2011/09/transparansi-dalam-prinsip-prinsip-tata.html diakses pada 09 Mei 2013.

Author: Unknown

Assalamu'alaikum, Saya Penulis di blog ini, silakan Share jika tulisan ini bermanfaat. Terima Kasih atas kunjungan anda. Kritik dan saran silakan di poting di kolom komentar.

0 komentar:

E-mail Newsletter

Kirim alamat E-mail anda untuk mengikuti pembaruan dari kami.

Recent Articles

© 2015 Waajibaty | Distributed By Zacky | Created By Zacky
TOP