- Akuntabilitas
Pendidikan
1.
Pengertian
Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah kondisi seseorang yang dinilai orang lain karena kualitas performannya
dalam menyelesaikan tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Secara umum, makna
yang terkandung dalam akuntabilitas adalah: (1) cocok atau sesuai (Fitting in)
dengan peranan yang diharapkan, (2) menjelaskan dan mempertimbangkan kepada
orang lain tentang keputusan dan tindakan yang dambilnya, (3) performance yang
cocok dan meminta pertimbangan/ menjelaskan kepada orang lain.
Definisi diatas
menunjukkan beberapa aspek bahwa: di dalam akuntabilitas terkandung rasa puas
dari pihak lain, model kontrol, model dialog, dan kriteria ukuran. Rasa puas
pihak lain terjadi apabila menurut kenyataan mampu memenuhi kontrak sebagai
hasil dialog sebelumnya, yaitu tepat dengan kriteria yang sudah ditentukan yang
tercermin oleh kontrol yang dilakukan oleh pihak lain. Dengan demikian, mak
akuntabilitas adalah suatu keadaan performan para petugas yang mampu bekerja
dan memberikan hasil karya yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan
bersama sehingga memberikan rasa puas pihak lain yang berkepentingan.
Manifestasi
akuntabilitas dalam suatu lembaga dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Mengontrak
performan, performan ditentukan kriterianya dan disepakati bersama. Artinya
petugas pelaksana tidak boleh menyimpang dari kriteria tersebut.
b.
Memiliki kunci
pembentuk arah dalam bentuk biaya dan usaha performan yang dikontrak. Artinya
dengan biaya tertentu diharapkan tercapai tujuan secara efektif sehingga
pengontrak merasa puas.
c.
Unsur pemeriksaan
yang dilakukan oleh orang-orang bebas dan tidak terlibat dalam kegiatan
internal, seperti orang tua siswa, masyarakat, atau pemerintah.
d.
Memiliki jaminan,
dalam bidang pendidkan mutu dapat terjamin dengan menggunakan kriteria atau
ukuran tertentu.
e.
Pemberian
insentif, diberikan sebagai penghargaan dan dapat diukur menurut kriteria
tertentu, dengan maksud untuk meningkatkan motivasi dan sistem kompetisi dalam
meningkatkan performan.[1]
2.
Langkah-langkah
Akuntabilitas
Langkah-langkah
akuntabilitas secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Tentukan tujuan
program yang dikerjakan, dalam dalam perencanaan disebut misi atau tujuan perencanaan.
b.
Program
dioperasionalkan sehingga menimbulkan tujuan-tujuan yang spesifik.
Operasionalisasi program ini melahirkan tugas-tugas khusus dengan tujuannya
masing-masing yang mudah diidentifikasi tentang apa saja yang harus dikerjakan.
c.
Kondisi tempat bekerja
ditentukan.
d.
Otoritas atau
kewenangan setiap petugas pendidikan ditentukan.
e.
Pelaksana yang
akan menjalankan program ditentukan (orang yang dikontrak).
f.
Kriteria pelaksana
performan yang dikontrak dibuat sejelas mungkin.
g.
Tentukan pengukur
yang bersifat bebas, dalam hal ini pengukur adalah orang yang mengontrak itu
sendiri.
h.
Pengukuran
dilakukan sesuai dengan syarat pengukuran umum yang berlaku, yaitu secara
insidental, berkala dan terakhir.
i.
Hasil pengukuran
dapat dilaporkan kepada orang yang berkaitan.[2]
3.
Manfaat
Akuntabilitas
Akuntabilitas mampu membatasi ruang gerak
terjadinya perubahan dan pengulangan, dan revisi perencanaan. Sebagai alat
kontrol, akuntabilitas memberikan kepastian pada aspek-aspek penting
perencanaan, antara lain:
a.
Tujuan/performan yang ingin dicapai
b.
Program atau tugas yang harus dikerjakan untuk mencapai
tujuan
c.
Cara atau performan pelaksanaan dalam mengerjakan tugas
d.
Alat dan metode yang sudah jelas, dana yang dipakai, dan
lama bekerja yang semuanya telah tertuang dalam bentuk alternatife
penyelesaikan yang sudah eksak/pasti
e.
Lingkungan sekolah tempat program dilaksanakan
f.
Insentif terhadap pelaksana sudah ditentukan secara pasti.
- Penyelenggaraan
Pendidikan
1.
Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan
Sesuai UU 20/2003
tentang Sisidiknas, ada 6 (enam) prinsip. Ketentuan ini, diatur pada Bab
II pasal 4 yang diuraikan dalam 6 ayat. Berikut isi UU 20/2003, pasal 4:
(1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna.
(3) Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran
serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[3]
Kutipan
dalam amanat undang-undang Sisdiknas tahun 2003 diatas sangatlah ideal bagi
bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis Identitas. Jika undang-undang ini
direalisasikan sepenuhnya pada masyarakat indonesia, maka tidak akan ada
masalah-masalah yang terkait dengan dunia pendidikan seperti buta huruf,
pemerataan pendidikan dan lain sebagainya. Namun, pada kenyataannya realitas
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Carut-marut pendidikan Indonesia masih
saja dirasakan meskipun usia UU Sisdiknas sudah berumur hampir satu dekade.
2.
Realita
Penyelenggaraan Pendidikan
Pendidikan
merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa
diketahui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa ataupun Negara dalam
menyelenggarakan pendidikan nasional. Di dalam pembukuan UUD 1945 dijelaskan
bahwa tujuan tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara
UUD 1945 pasal 31 ayat 4 menjelaskan bahwa naggaran penyelenggaraan pendidikan
nasional minimal 20% diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Beberapa
kasus strategis pendidikan nasional akhir-akhir ini memunculkan anggapan bahwa
Undang-undang Sisdiknas yang disusun pada tahun 2003 masih belum berjalan
sebagaimana mestinya, hal ini menimbulkan pertanyaan yang signifikan untuk
dijawab, apakah kesalahan pada Legislatif yang terlalu idealis dalam menetapkan
undang-undang, ataukah pada Eksekutif yang tidak melaksanakan amanat
undang-undang sepenuhnya. Kasus-kasus mulai dari penggusuran sekolah,
pemerataan pendidikan, hingga Ujian Nasional tersebut secara tidak langsung
menjadi indikasi bagi keberlangsungan pendidikan nasional yang semakin
terseok-seok. Proses penyelenggaraan pendidikan nasional masih sering terbentur
dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan, sistem sosial, dan kesadaran
kita sendiri.
Jika
dilakukan analisis mengenai kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa pokok persoalan dalam pendidikan kita, antara lain: pertama,
masalah kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan
pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja
Negara. Namun, dalam kenyataan tidak memberikan relevansi yang nyata. Bahkan
riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10% dari APBN, dan itu pun hanya untuk
membiayai anggaran rutin seperti penyediaan alat-alat belajar, gaji guru,
karyawan dan sebaginya.
Kedua,
masalah visi pendidikan nasional yang belum bisa berpihak pada rakyat jelata.
Dari kasus-kasus di atas , sebagai pelaku pemenangnya adalah mereka yang hanya
memiliki uang saja. Kebijakan pemerintah dan visi pendidikan nasional belum
bisa menyentuh kepentingan rakyat jelata. Oleh karena itulah setiap kasus yang
terjadi selalu meletakkan posisi rakyat jelata sebagai yang kalah.
Ketiga,
masalah kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan
“kesadaran kritis”. Setiap kasus yang terjadi selalu memposisikan masyarakat
bawah sebagai yang tertindas, namun mereka tidak kuasa melawan penindasan itu.
Istilah Paulo Freire, mereka telah tenggelam dalam “budaya bisu”. Kondisi
mereka selalu tertekan, namun tidak kuasa untuk meluapkan seluruh aspirasi
karena otoritas kekuasaan pemerintah yang sangat dominan.
Ketiga, akar persoalan di atas menjadi masalah serius dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan nasional tidak akan bisa berjalan secara ideal selagi ketiga pokok persoalan itu belum terpikirkan.
Ketiga, akar persoalan di atas menjadi masalah serius dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan nasional tidak akan bisa berjalan secara ideal selagi ketiga pokok persoalan itu belum terpikirkan.
Ketiga persoalan pokok diatas secara tidak langsung
menimbulkan sikap apatis dalam masyarakat Indonesia, fenomena apatisme ini cukup
banyak terjadi. Ada yang kecewa karena faktor biaya yang kian mahal dan
mencekik. Banyak anak pintar penuh potensi yang harus minggir dari kompetisi
karena tidak ada kursi. Keterbatasan ekonomi nampaknya menjadi hal yang tidak
bisa dihindari. Ada juga yang apatis disebabkan oleh ketidak sesuaian dengan
apa yang diharapkan.
Sikap kecewa dan apatis terhadap dunia sekolah yang dalam
hal ini mencerminkan pendidikan bukanlah fenomena baru bahkan semakin hari
semakin banyak. Fenomeni ini juga kurang mendapatkan perhatian yang memadahi
terutama dari para pemegang kebijakan pendidikan. Para pelaksana pendidikan
rupanya lebih sibuk dengan agenda kerja yang menguntungkan secara materi. Para
pejabat hanya sibuk berbicara tentang Ujian Nasional tanpa pernah memberikan
pemikiran yang komprehensif tentang bagaimana kualitas siswa. Ujian Nasional
telah menjadi kontroversi beberapa tahun ini, meskipun demikian tidak ada usaha
yang signifikan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas anak didik.[4]
Dalam mengatasi masalah ini, sebenarnya Negara tidak
hanya berpangku tangan, beberapa usaha telah dilakukan. Usaha tersebut antara
lain: Pertama, pemerataan memperoleh pendidikan yang dalam hal ini dilakukan
melalui desentralisasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi
pemerintah daerah beserta masyarakatnya dalam pemerataan pendidikan. Kedua,
upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang merupakan dasar pemikiran
makro yang melandaasi lahirnya UU No. 22 Th. 1999, tentang pemerintah daerah
untuk menghadapi persaingan global. Ketiga, perbaikan manajemen sekolah dengan
diterapkannya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Sebagai
alternatif sekolah dalam program desentralisasi pendidikan yang memberikan
otonomi luas di tingkat sekolah dan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam
rangka kebijakan nasional.[5]
Upaya-upaya
maksimal dari pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dengan melaksanakan realitas berdasarkan aturan telah dilakukan. Namun, kondisi di atas tidak
akan berubah. Tatakala negara tak sanggup menyediakan anggaran dana besar untuk
pendidikan, sudah semestinya masyarakat menerobos dengan inovasi model
pendidikan, demi kelangsungan dan masa depan bangsa. Adalah baik jika para
generasi diberikan materi pendidikan berupa life skill atau kecakapan
yang diperlukan untuk mengatasi masalah ketika memasuki persaingan terbuka.
Sebab pendidikan yang diselenggarakan Negara kita, lulusannya belum memiliki
kesiapan kerja yang memadai. Mereka butuh dimatangkan dalam hal kecakapan pribadi
(personal skill), penikiran, sosial, serta akademis.[6]
- Transparansi
Pengelolaan Pendidikan
Transparansi
sekolah adalah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan kepentingan
pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan
kebijakan sekolah. Dalam konteks pendidikan, istilah transparansi sangatlah
jelas yaitu kepolosan, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan
terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ini berarti
bahwa sekolah harus memberikan informasi yang benar kepada publik. Transparansi
menjamin bahwa data sekolah yang dilaporkan mencerminkan realitas. Jika
terdapat perubahan pada status data dalam laporan suatu sekolah, transparansi
penuh menyaratkan bahwa perubahan itu harus diungkapkan secara sebenarnya dan
dengan segera kepada semua pihak yang terkait(stakeholders).[7]
Pengembangan
transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan publik kepada
sekolah bahwa sekolah adalah organisasi pelayanan pendidikan yang bersih dan
berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti profesional.
Transparansi bertujuan untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara
sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin
kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.
Transparansi
sekolah perlu ditingkatkan agar publik memahami situasi sekolah dan dengan
demikian mempermudah publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka
meningkatkan transparansi sekolah kepada publik antara lain melalui
pendayagunaan berbagai jalur komunikasi, baik secara langsung melalui temu
wicara, maupun secara tidak langsung melalui jalur media tertulis (brosur,
leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar) maupun media elektronik
(radio dan televisi lokal).
Upaya
lain yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan transparansi adalah
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk
informasi yang dapat diakses oleh publik ataupun bentuk informasi yang bersifat
rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, durasi waktu untuk mendapatkan
informasi, dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik.
Sekolah perlu mengupayakan peraturan yang menjamin hak
publik untuk mendapatkan informasi sekolah, fasilitas database, sarana
informasi dan komunikasi, dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan
informasi yang ada di sekolah maupun prosedur pengaduan.
DAFTAR PUSTAKA
Lamijan Hadi Susarno,
Dkk. 2007. Refleksi Pendidikan Masa Kini, Surabaya: FIP Unesa.
Nanang Fattah. 2004. Manajemen
Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung: CV. Pustaka Bani.
Ngainun Naim. 2010. Rekonstruksi
Pendidikan Nasional Membangun Pradigma Yang Mencerahkan. Yogyakarta: Teras.
Kementrian Sekretariat
Nagara, Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional 2003, dalam http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=323&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2003, diakses pada 9 Mei 2013.
Eka Lismaya Sari, Pendidikan
Indonesia Antara Aturan dan Realitas, dalam http://universal-79.blogspot.com/2008/08/newspendidikan-indonesia-antara-aturan.html
diakses pada 9 Mei 2013.
Transparansi dalam
Prinsip Tata Kelola yang Baik Pada Pelaksanaan MBS, dalam http://serbarabari.blogspot.com/2011/09/transparansi-dalam-prinsip-prinsip-tata.html
diakses pada 09 Mei 2013.
[1] Nanang Fattah, Manajemen Berbasis
Sekolah dan Dewan Sekolah (Bandung: CV. Pustaka Bani, 2004), 93.
[3]Kementrian
Sekretariat Nagara, Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional 2003, dalam
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&id=323&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2003, diakses
pada 9 Mei 2013.
[4] Ngainun Naim, Rekonstruksi
Pendidikan Nasional Membangun Pradigma Yang Mencerahkan (Yogyakarta: Teras,
2010), 105.
[6] Eka Lismaya Sari, Pendidikan
Indonesia Antara Aturan dan Realitas, dalam http://universal-79.blogspot.com/2008/08/newspendidikan-indonesia-antara-aturan.html
diakses pada 9 Mei 2013.
[7] Transparansi dalam
Prinsip Tata Kelola yang Baik Pada Pelaksanaan MBS, dalam http://serbarabari.blogspot.com/2011/09/transparansi-dalam-prinsip-prinsip-tata.html
diakses pada 09 Mei 2013.
0 komentar: